Keputusan tersebut merupakan hasil mufakat Dewan Pengarah yang terdiri dari perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, , , Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan OPD Kabupaten Berau. Pada Rabu sore (31/5), mereka berdiskusi memutuskan masa depan Program Karbon Hutan Berau untuk memasuki fase implementasi penuh.
Program Karbon Hutan Berau adalah program kemitraan antara Pemerintah Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berbagai lembaga pemerintah lainnya, lembaga swadaya masyarakat serta lembaga donor untuk bersama-sama mengembangkan program percontohan pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan dan peningkatan stok karbon melalui kegiatan pengelolaan hutan secara lestari, konservasi hutan, restorasi ekosistem, dan rehabilitasi hutan. Program pengurangan emisi ini sering disebut dengan REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation plus). Program yang dimulai sembilan tahun lalu tersebut, telah menjalani lima fase: pelingkupan; pengembangan, dan percontohan. Setelah fase percontohan akan dilanjutkan ke fase implementasi penuh.
Beberapa capaian selama fase percontohan antara lain adanya tata ruang sudah dijadikan dasar utama penerbitan perizinan di Berau; penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) sudah didahului oleh Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS); dua pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) mendapatkan sertifikat FSC dan 12 IUPHHK-HA bersertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL); Kampung kampung telah menyusun RPJM Kampung secara partisipatif dengan pendekatan SIGAP ; Empat kampung mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan Desa (Merabu, Long Ayap, Punan Segah, Biatan Ilir dan Dumaring) hingga pembentukan Forum GIS di Berau. Selain itu masih banyak lagi capaian menggembirakan yang telah dicapai.
Capaian tersebut, menurut Agus, mendapatkan banyak perhatian dunia. Sejak Berau menjadi daerah percontohan REDD+ pada 2010 , Kabupaten ini mendapat sejumlah kunjungan penting dari luar negeri seperti Menteri Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Norwegia, Menteri Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi Jerman, Wakil Menteri Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi Jerman, Duta Besar Amerika Serikat dan sejumlah tokoh lainnya. Para tokoh tersebut, melihat langsung bagaimana implementasi program pengurangan emisi di Kabupaten Berau. Bupati Berau Muharram pun sempat menyampaikan perkembangan Kabupaten Berau di sela-sela Pertemuan Puncak Perubahan Iklim PBB di Maroko tahun 2016 lalu. “Keberhasilan ini adalah hasil upaya dari semua pihak yang selama ini telah bekerja dibawah koordinasi Pemkab Berau,” ujar Saipul Rahman Manajer Senior Program Berau The Nature Conservancy (TNC).
Saipul menjelaskan bahwa TNC sejak awal terlibat langsung dalam PKHB lantaran TNC meyakini bahwa PKHB dapat membawa Berau menjadi salah satu kabupaten di Indonesia yang mampu melakukan pembangunan rendah emisi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keterlibatan TNC dalam PKBH bisa dilihat dalam pendampingan IUPHHK-HA untuk mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan lestari, pendampingan pembangunan kampung, hingga penyusunan KLHS dalam RPJMD dan RTRW Kabupaten Berau.
Kepala Dewan Daerah Perubahan Iklim Kalimantan Timur Daddy Ruhiyat manyampaikan bahwa PKHB sejalan dengan Program Kaltim Hijau. “PKHB mendukung percepatan Pembangunan Hijau di Kaltim,” kata dia dalam kesempatan yang sama. Daddy menyarankan keterlibatan semua pihak untuk menjadikan PKHB purwarupa (prototype initiative) pembangunan hijau pada tingkat kabupaten di Kalimantan Timur.
Direktur Mitigasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Emma Rachmawaty menyampaikan apresiasinya atas PKHB pada pertemuan kemarin. Menurutnya, upaya Kabupaten Berau ini akan berkontribusi terhadap komitmen Pemerintah Indonesia di dunia internasional dalam Paris Agreement yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dan disahkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2016. Pemerintah Indonesia saat ini lebih fokus pada pemenuhan komitmen negara dan belum memprioritaskan perdagangan karbon. Meskipun demikian, Emma optimis kebijakan ini akan mampu mendatangkan pendanaan dari luar negeri dalam pembiayaan kegiatan perubahan iklim di Indonesia. (Dianing Sari / Nala)
0 comments